Suku Dayak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Dayak] atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak[10][11][12][13])
adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni
pedalaman[14] yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dariKalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan
Selatan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari.
Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di
pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
§ "Dayak Darat" (13 bahasa)
§ "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa
Yakan di Filipina.
§ "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di
pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak
Banuaka.
§ "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak
Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu),
Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan
(Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa
suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah
Tidung, Kutai, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito
Raya).
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam
yang dikenali sebagai suku
Bakumpai di sungai
Baritotempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk
menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[15][16] Ini terutama berlaku di Malaysia,
karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk
kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan
Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut
Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang
berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari
sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai
atau yang tak pada tempatnya.[17][18]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan
Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di
Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[19] Jadi semula istilah orang Daya (orang
darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang
selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun
Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan
Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar
(daerah sungai
Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang
masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun
Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya[20],
khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[21] Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian
Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa
kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah
pedalaman Kalimantan.[22] Menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan
Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah
orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas
pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa
diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian
pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan
bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling
tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[23]Dengan
nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti
manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai.
Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak
menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang
Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.[24] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat
istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada
umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar
lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[25]
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara
adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah
yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia
adalah Taiwan.
Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan
menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau
Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150
meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini
"Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan
dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari
daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar
seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus
menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir
pulau Kalimantan.[26] Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak
dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun
sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[27][28], yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[29] Kejadian tersebut mengakibatkan suku
Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke
wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur
kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai
orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar danSuku Kutai.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk
ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan
Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk
rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan
sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang
Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[30] Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara,
bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoatercatat
mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari
manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah
Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan
kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa
(disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar
Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada
suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.[31]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa
masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci)
dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di
Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinanCheng Ho, dan
kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah
seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[32]
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau
Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang,
Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke
pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub
etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang
kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub
suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya,
maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak,
mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U.
Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat,
terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.[33]
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun
besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantandan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua
mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun
hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang
berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki
kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak
atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material
seperti tembikar, mandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian
(sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebutbanua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju)
menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan
kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial",
manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
§ Malayunoid,
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti
"ras
Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak
lagi dianggap berarti untuk membuatklasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang
membuat adanya kelompok manusia.
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut
merupakan foto kuburan Dayak Benuaqdi Kutai. Peti yang dimaksud adalahSelokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan
penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat
sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si
meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku
bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan
dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam
sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
§ penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal,
dengan posisi kerangka dilipat.
§ penguburan di dalam peti batu (dolmen)
§ penguburan dengan wadah kayu, anyaman
bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir
berkembang.
1.
lubekng (tempat lungun)
2.
garai (tempat lungun, selokng)
3.
gur (lungun)
4.
tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.
penguburan tahap pertama (primer)
2.
penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu
Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan
peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti
mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan
posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan,
yakni :
§ dikubur dalam tanah
§ diletakkan di pohon besar
§ dikremasi dalam upacara tiwah.
1.
Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai
simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan
setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang
dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.
Marabia
4.
Mambatur (Dayak Maanyan)
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama
oleh Tjilik
Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Agama-agama asli
suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama
Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya peninggalan
agama Hindu di Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.
Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya
prasasti peninggalan dariKerajaan
Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[42] Penemuan arca-arca Buddha yang
merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan
Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama
Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat
multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam
sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat
kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan
agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh
sebagian hukum
agama Islam(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya
bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada
hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian
kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi
agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya
perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan
oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya
terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan
Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga
Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri),
tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak
yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut
dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum
adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan
Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku
Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan
Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat
lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku
hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di
perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum
golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau
daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani
dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang
Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal.
Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan.
Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407,
karena pada masa Dinasti
Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan
dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[43] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah
orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa
asing misalnya bahasa
Arab.[44] Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada
masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat
khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di
saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14
dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada
dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur
(Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing
terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena
takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang
hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun
1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara
leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan
negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein,penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin
dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan
merintangi upaya-upaya misionaris.[45][46][47][48][49]
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan)
telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan
kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang
Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik
ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi
topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997,
sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai
perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang
menurut sumber-sumber independen.[50] Pada tahun 1999, orang-orang Dayak,
bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang
tewas.[51] Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak,
konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak
dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura.[52] Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada
beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan
keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat
menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.
1.
^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa
Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan
Pusat Statistik. 19 Oktober 2011. ISBN 9789790644175.
Diakses pada 27 Agustus 2012.
2.
^ Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi.
Jabatan Perangkaan Malaysia. 19 Oktober 2011. ISBN 9789839044548.
Diakses pada 27 Agustus 2012.
5.
^ (Inggris) Sellato,
Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak cultures.
NUS Press. hlm. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6
6.
^ (Inggris)Davis, Joseph
Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of the
various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis.
Printed for the subscribers.
8.
^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford
University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
9.
^ (Inggris)East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany. 12.
Wm. H. Allen & Co.
10.
^ (Inggris) University
of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49.
University of Calcutta. hlm. 171.
11.
^ (Inggris) (1865) The London review of politics, society, literature,
art, & science. 11. J.K. Sharpe. hlm. 121.
12.
^ (Inggris) Wood,
John George (1870). Uncivilized races of men in all countries of the
world: being a comprehensive account of their manners and customs, and of their
physical, social, mental, moral and religious characteristics. 2.
J. B. Burr & co.. hlm. 1110.
14.
^ ? Kata
"daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama
"Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu".
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua
Niah (Sarawak) danGua
Babi (Kalimantan Selatan),
penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan
proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni
Kalimantan masa kini
16.
^ (Inggris) Leeming,
David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia. 1 (edisi
ke-2). ABC-CLIO. hlm. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9
18.
^ (Indonesia) Maunati,
Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi
Aksara. hlm. 8. ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2
19.
^ (Inggris) Tegg,
Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal dictionary of
science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of
the present state of knowledge. 4. Printed for
Thomas Tegg. hlm. 338.
30.
^ (Indonesia) Susanto,
A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius.
hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1
34.
^ http://perpustakaan.kaltimprov.go.id/deposit-13-lungun-dan-upacara-adat-kematian-suku-dayak-benuaq.html
38.
^ Lathief.
H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan
Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
43.
^ (Indonesia) Muljana,
Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
44.
^ (Indonesia) Kong,
Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma. ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah
di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0
45.
^ (Indonesia) Ukur,
Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan
Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. hlm. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9
46.
^ (Inggris) Evangelical
(1836). Evangelical magazine and missionary chronicle,. 14.
s.n. pp. 578.
47.
^ (Indonesia) End, Th.
van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah
gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
48.
^ (Inggris) (1837) Foreign missionary chronicle. 5.
Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian
Church.. hlm. 87.
49.
^ (Belanda) Steenbrink,
Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery
1808-1903. KITLV Press. hlm. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
§ Cfr. Tom Harrisson, "The
Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric
Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
§ Kathy MacKinnon, The Ecology of
Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus
Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
§ bdk. P.J. Veth, "The Origin of the
Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm.
118-121
§ Fridolin Ukur, "Kebudayaan
Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
§ Keragaman Suku Dayak di Kalimantan,
Institut Dayakologi, Pontianak
§ Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut
Dayakologi
§ Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik
Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta